Latar Belakang Masalah
Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada medis dan kehidupan sosial, misalnya cacat tulang pada kerangka Craniomaxillofacial bervariasi mulai dari cacat periodontal kecil (beberapa milimeter) hingga cacat segmental besar yang diakibatkan trauma, eksisi bedah atau kranioplasti. Cacat seperti itu biasanya memiliki struktur tiga dimensi kebutuhan yang kompleks, yang sulit untuk dipulihkan seperti halnya cacat rahang segmental membutuhkan pemulihan integritas mekanik, fungsi sendi temporomandibular, dan oklusi gigi intermaxillary.1
Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda. Dari hasil survey tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami catat fisik, 15% mengalami stress psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik (Depkes RI 2013). Sedangkan menurut World Hearth Oraganization (WHO) tahun 2013 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas mencapai 120.222 kali atau 72% dalam setahun.15
Fraktur dan defect maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup sering terjadi dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama. Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa dengan facial trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, 21.5% akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%, cedera saat berolahraga 7,7%, akibat kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak sebagai percobaan bunuh diri serta akibat kecelakan kerja masing-masing 0.6%. Diantara 45 pasien korban kekerasan, 19 orang diantaranya mengalami trauma wajah akibat intimate partner violence (IPV) atau kekerasan dalam rumah tangga.11
Disamping mekanisme yang disebutkan di atas, osteoporosis ternyata juga berpengaruh terhadap insiden fraktur maksilofasial termasuk maksila. Hal tersebut didapatkan dari suatu studi review retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur maksilofasial yang berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun 1989 dan 2000. Di Rs. Dr. Moewardi sendiri, angka kejadian Fraktur maxila mencapai 131 kasus dalam 1 tahun terakhir (Januari 2019 s/d Desember 2019).
Maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan, maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior – medial pada prosesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga oleh zygomatikomaksilari.2
Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah fungsional tapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut. Adapun beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila diantaranya Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan hallmark dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila menimbulkan mobilitas.Fraktur maxillofacial dapat ditangani dalam berbagai cara tergantung pada tingkat keparahan. Perawatan biasanya diklasifikasikan sebagai reduksi terbuka dan tertutup. Terbuka dan tertutup mengacu apakah tindakan sayatan bedah diperlukan untuk mengekspos tulang atau tidak. Reduksi dan fiksasi mengacu pada mengembalikan dan stabilisasi tulang tersebut. Perawatan cedera patah tulang yang parah mencakup penggunaan tindakan bedah, anestesi umum bersama dengan perangkat keras termasuk kawat, plat, dan penggunaan graft tulang yang sudah dilakukan sejak lebih dari 1 dekade.16
Menurut Smeltzer & Bare (2002), prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada pasien fraktur meliputi reduksi terbuka dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation/ORIF). Fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku, skrup atau pin dedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. Sasaran pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri dan disabilitas. Fiksasi eksterna, digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani denfgan fiksator eksterna, garis fraktur direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan kedalam fragmen tulang. Pin yang telah terpasang dijaga tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada kerangkanya dan fisator ini memberikan kenyamanan bagi pasien, mobilisasi dini dan latihan awal untuk sendi disekitarnya.9
Adapun graft tulang yaitu penggantian jaringan tulang dari suatu bahan atau material pengganti untuk stabilisasi tulang, digunakan untuk mengisi defek atau perangsangan dalam membantu proses penyembuhan tulang atau disebut dengan Bone graft. Bone graft dapat diambil dari tulang di tempat lain kemudian disubstitusikan ke dalam jaringan tulang yang mengalami defek.5
Tipe bone graft yang digunakan tergantung pada lokasi fraktur, bahan asal, kondisi tulang dan jumlah tulang yang hilang karena injuri. Bone graft yang berasal dari bahan ceramic atau composite disebut dengan synthetic bone graft, dapat diberikan dalam bentuk sediaan granule dan pasta injectable serta harus memiliki dua dari tiga fungsi dasar antara lain osteogenesis, osteoinduksi dan osteokonduksi, dimana pada bone graft sintetik memberikan fungsi osteoinduksi dan osteokonduksi.6 Baik Synthetic Bone Substitute Granule (SBSG) maupun Synthetic Bone Substitute Injectable (SBSI) harus bersifat biokompatibel, yaitu dapat diterima oleh tubuh, memiliki sifat mekanik yang baik, dan mudah dimanipulasi.
Jika SBSG diberikan dengan cara meletakkan beberapa butir granule pada gap tulang ataupun defect disekitar fraktur sejumlah yang dibutuhkan, maka SBSI disuntikan pada defect dengan cara menyuntikan pasta bone graft pada celah yang lebar ataupun lebih sempit. Secara garis besar ada 4 macam bone graft antara lain autograft, xenograft, allograft, dan material sintetis alloplast atau alloimplant. Graft tulang dari tulang pasien sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft). Graft tulang dengan allograft dilakukan ketika tulang dari pasien itu tidak tersedia karena kualitas tidak baik atau karena prosedur sekunder tidak diinginkan pada pasien.10
Tingginya tingkat kebutuhan bone graft menyebabkan para peneliti dan ahlibedah terus mengembangkan biomaterial sebagai alternatif pilihan dalam merestorasi jaringan tulang yang rusak. Material ini lah yang disebut dengan alloplast atau alloimplant. Material yang akan digunakan sebagai bahan rehabilitasi jaringan harus memiliki karakterisik sama dengan tulang alami. Material tersebut dapat berasal dari bahan sintetik non-logam yang bisa didapatkan dari bahan keramik (kalsium fosfat), komposit dan polimer.4
Salah satu bahan biokeramik yang sering digunakan dalam aplikasi biomedis sebagai bahan terapi substitusi tulang atau sintetik bone graft adalah hidroksiapatit sintetik Ca10(PO4)6(OH). Susunan kristal hidroksiapatit memiliki gambaran identik dengan hidroksiapatit pada tulang. Material ini bersifat biokompatibel, osteokonduktif, serta dapat menyatu dengan tulang sehingga dapat meningkatkan proses regenerasi tulang.
Sampai saat ini, rekonstruksi defek pada tulang wajah masih menjadi tantangan bagi para ahli bedah craniofacial, karena proses penyembuhannya seringkali mengalami gangguan atau bahkan kegagalan. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah fungsional tapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut. Adapun beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila diantaranya Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan hallmark dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila menimbulkan mobilitas. Selain itu kepadatan tulang sebelum fraktur juga menjadi faktor penyembuhan.3
Werning John W, MD, et al, (2004) dalam penelitiannya, didapat bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu, benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bisa menimbulkan fraktur maksilofasial multipel sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor jika pasien mengalami osteoporosis yang parah. Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari trauma maxillofacial cukup sering ditemukan, Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian.12,13
Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacial harus dapat didiagnosis dan ditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan masalah estetika yang mungkin terjadi. Berdasarkan hal tersebut, penulis membuat suatu penelitian dalam penanganan fraktur maksila yang lebih baik, sehingga dapat ditata laksana secara modern dengan hasil yang terbaik.14
https://mega.nz/#!HhtxyIjS!f43gUGJXlcsGZnAs5ftTOQVjAOxEGvQY5187nrHGUwM