Picture of Dedy Chandra Hariyono
Tinjauan Pustaka : AMELOBLASTOMA
by Dedy Chandra Hariyono - Thursday, 14 April 2022, 08:53 PM
 

AMELOBLASTOMA

IMG_4013

Tinjauan Pustaka

Oleh:

Dedy Chandra Hariyono

S562008002

BAGIAN/SMF PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA

2021

AMELOBLASTOMA

A. Definisi

Ameloblastoma yang memiliki nama lain adamantinoma merupakan neoplasma odontogenik yang berasal dari sisa epitel dental lamina. Ameloblastoma adalah suatu neoplasma epitelial jinak dan berkisar 10% dari keseluruhan tumor odontogenik. Neoplasma ini berasal dari sel pembentuk enamel dari epitel odontogenik yang gagal mengalami regresi selama perkembangan embrional. Ameloblastoma ditandai dengan pola pertumbuhan yang lambat dan dapat tumbuh menjadi ukuran yang sangat besar dan menyebabkan deformitas fasial yang berat. Kelainan ini biasanya asimtomatik dan tidak menyebabkan perubahan fungsi nervus sensorik (Cahyawati, 2018).

Menurut Sciubba dalam Effiom (2017), ameloblastoma adalah tumor jinak yang agresif. Ia terbentuk dari stroma fibrous dewasa tanpa ektomesenkim odontogenik. Ameloblastoma terbentuk dari jaringan enamel yang tidak mengalami diferensiasi hingga terbentuknya jaringan keras (Masthan, 2015).

Ameloblastoma termasuk kedalam lesi odontogenik nonmineralisasi, yaitu lesi yang gagal dalam menampakkan mineralisasi internal dan secara klasik dideskripsikan sebagai lesi radiolusen. Lesi seperti ini dapat dikelilingi secara parsial atau komplit oleh struktur mineral normal seperti gigi.

Ameloblastoma dapat terjadi pada kisaran usia yang lebar, dengan puncak kejadian pada dekade ketiga dan keempat, dan tidak terdapat predileksi jenis kelamin. Ameloblastoma paling sering terjadi di mandibula posterior, terutama pada regio gigi molar ketiga, dan berhubungan dengan kista folikular atau gigi yang impacted. Sekitar 15-20% kasus dilaporkan berasal dari maxilla dengan hanya sekitar 2% yang berasal dari anterior dari premolar. (Cahyawati, 2018)

Ameloblastoma pada mandibula dapat berkembang menjadi besar dan menyebabkan asimetri wajah, pergeseran gigi, maloklusi, dan fraktur patologis.

B. Epidemiologi

Ameloblastoma meskipun jarang dijumpai, merupakan tumor odontogenik yang paling sering terjadi (10%- 11%) dan terhitung sekitar 1% dari seluruh tumor pada regio kepala dan leher. Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang tersering kedua setelah odontoma. Ameloblastoma dapat terjadi pada kisaran usia yang lebar, dengan puncak kejadian pada dekade ketiga dan keempat , dan tercatat insidensi tertinggi pada usia 33 tahun. Tumor ini jarang terjadi pada anak-anak (8,7% - 15%).

Secara predileksi, ameloblastoma paling sering terjadi di mandibula posterior, terutama pada regio gigi molar ketiga, dan berhubungan dengan kista folikular atau gigi yang impacted. Sebagian besar ameloblastoma terjadi di ramus dan corpus posterior mandibula pada 80% kasus. Pada mandibula, area ramus angle molar lebih sering terkena 3 kali lipat daripada area pre molar dan anterior. Sekitar 15-20% kasus dilaporkan berasal dari maxilla dengan hanya sekitar 2% yang berasal dari anterior dari premolar. Pada maxilla, area yang paling sering terkena yaitu area molar, namun kadang dapat juga dijumpai pada regio anterior, sinus maksilaris, cavum nasi, orbita dan kadangkala hingga ke basis cranii. (Cahyawati, 2018).

C. Etiologi dan Patogenesis

Ameloblastoma berasal dari sel pembentuk enamel dari epitel odontogenik yang gagal mengalami regresi selama perkembangan embrional, misalnya sisa dari lamina gigi. Bila sisa-sisa ini berada di luar tulang di dalam jaringan lunak dari gingiva atau mukosa alveolar maka dapat menyebabkan ameloblastoma periferal. Sumber lain yang mungkin adalah epitel permukaan gingiva dan tepi kista odontogenik (Masthan, 2015).

Faktor penyebab terjadinya ameloblastoma seperti halnya penyebab neoplasma yang lain pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Namun beberapa ahli beranggapan bahwa beberapa faktor kausatif yang dianggap sebagai penyebab terjadinya gangguan histodifferensiasi pada ameloblastoma meliputi (1) faktor iritatif non spesifik seperti tindakan ekstraksi, karies, trauma, infeksi, inflamasi, atau erupsi gigi, (2) kelainan defisit nutrisi dan (3) patogenesis viral. (Effiom, 2017)

Menurut Shafer dalam Cahyawati (2018), kemungkinan sumber ameloblastoma adalah sebagai berikut (a) sisa-sisa sel organ enamel, sisa lamina dental atau sisa lapisan hertwig’s, sisa epitel malases (b) epitel odontogenik, terutama kista dentigerus dan odontoma, (c) gangguan perkembangan organ enamel, (d) sel-sel basal dari epitel permukaan rahang, (e) epitel heterotopik dalam bagian lain tubuh, khususnya glandula pituitary. Teori lain menyebutkan bahwa ameloblastoma berkaitan dengan proses morfodiferensiasi ameloblast.

Odontogenesis terjadi dalam 4 tahap yaitu ; tahap bud, cap, bell, dan crown. Pada minggu keenam perkembangan embriologi, sel mesenkimal menebal dan membentuk lamina dental primer. Sel ini mulai berinvaginasi membentuk tooth bud dengan overlying cap. Pada minggu ke 20, tooth bud nampak menjadi bentuk bell dengan sel ameloblastik dan odontoblastik aktif. Sel ameloblastik memproduksi enamel gigi, sedangkan sel odontoblastik membentuk dentin. Produksi enamel memerlukan formasi lengkap dari dentin. Kedua proses ini selesai pada fase crown, dimana gigi dalam tahap perkembangan akhir. Sebelum selesainya odontogenesis, baik lamina dental primer dan sekunder menghilang. Adanya sisa sel embrionik ini dapat menjadi lesi benigna atau maligna dikemudian hari.

Gambar 1. Odonotogenesis dan anatomi gigi. (a) Gambar mengilustrasikan tahap-tahap utama perkembangan gigi: bud stage, cap stage, bell stage, dan crown stage. Warna merah muda: epitel oral, coklat : mesenkim gigi, biru tua: ameloblas, biru muda: odontoblas, kuning : dentin, putih : enamel, merah : pulpa. Meskipun lesi mandibula dapat berasal dari sel-sel pada perkembangan gigi awal, lesi sering tidak bermanifestasi sampai tahapan usia berikutnya. (b) Radiografi memperlihatkan anatomi gigi yang matur. Lesi pada mandibula secara khas berasal dari lokasi yang karakteristik di dalam dan di sekitar gigi (Sumber: Dunfee BL dalam Cahyawati, 2018)

Teori yang lebih awal mengaitkan patogenesis ameloblastoma dengan morfodiferensiasi preameloblas menjadi ameloblas selama tahap perkembangan bell stage. Diyakini bahwa terdapat premeloblas yang berkembang pada bell stage selama perkembangan gigi alih-alih secara fungsional menginduksi sintesis protein enamel dan deposisi matriks (Fan et al, 2012)

Studi lain mengusulkan bahwa tidak adanya stratum intermedium menghalangi diferensiasi dari preameloblas menjadi ameloblas karena stratum intermedium menghasilkan basa fosfatase yang diperlukan untuk memecah elemen nutrisi yang dibutuhkan ameloblast selama tahap bell stage. (Jussila dan Thesleff, 2012).

Teori ini diperkuat oleh terganggunya fungsi ameloblas dan deposisi enamel yang diamati pada tikus percobaan Msx-2 yang tidak memiliki stratum intermedium fungsional (Effiom, 2017).

D. Klasifikasi

Menurut WHO dan International Agency for Research on Cancer, 2003, ameloblastoma digolongkan sebagai tumor jinak dengan epitel odontogenik, stroma fibrosa matang dan tanpa ektomesenkim odontogenik. Selanjutnya dalam Effiom (2017), ameloblastoma jinak secara lokasi anatomi dan histopatologi digolongkan menjadi:

1. Solid/multikistik

Ameloblastoma tipe solid disebut juga conventional/classical ameloblastoma merupakan jenis yang paling banyak (86-91%). Tipe solid ini mempunyai kecenderungan untuk menjadi lebih agresif daripada tipe lain dan mempunyai insidensi kekambuhan yang tinggi. Tipe ini memiliki gambaran histopatologis yang berbeda-beda yaitu follicular pattern dan plexiform pattern (yang paling banyak), acantthomatous patern, granular cell pattern, dan basaloid pattern (Cahyawati, 2018).

2. Unikistik

Tipe unikistik berkisar 5–15% (Dhanuthai dalam Effiom, 2017) mempunyai kavitas kistik yang besar dengan proliferasi sel ameloblastik luminal, intra luminal, atau mural. Tipe ini kurang agresif dan dan kecepatan kekambuhannya rendah, meski pada lesi dengan invasi mural sebagai pengecualian dan harus diterapi lebih agresif.

3. Extraosseous/peripheral

Tipe ketiga yaitu ameloblastoma periferal, paling tidak umum dan hanya sekitar 1% dari kasus ameloblastoma (Odukoya dan Effiom, 2008; Siar et al, 2012a), secara histologis serupa dengan ameloblastoma solid, yaitu terdiri dari pulau-pulau epitel ameloblastik. Tipe ini tidak umum dan biasanya nampak sebagai lesi yang tidak terlalu nyeri, non ulcerated sessile atau lesi gingiva pedunculated pada ridge alveolar. Lesi ini lebih umum di rahang bawah daripada rahang atas dan ditemukan di gingiva posterior atau sulkus alveolar. Ameloblastoma tipe periferal terjadi pada jaringan lunak/extraosseus.

4. Desmoplastik

Ameloblastoma desmoplastik diawali dengan munculnya pembengkakan tanpa rasa sakit yang tumbuh lambat, tetapi secara radiologis, ditemukan pola radiolusen dan radiopak campuran dengan batas tidak teratur. Gambaran histologis displasia stroma ekstensif terlihat sangat patognomonik, yaitu terdiri dari pulau-pulau epitel odontogenik dengan berbagai bentuk dan ukuran berproliferasi dalam jaringan ikat yang berkolagen tinggi.Serat kolagen yang tebal cenderung mengkompresi pulau epitel odontogenik dari perifer, sehingga menimbulkan bentuk dan ukuran yang aneh (bizzare). Pada ameloblastoma desmoplastik umumnya tidak terdapat formasi tulang metaplastik (Effiom, 2017).

Sedangkan, ameloblastoma ganas diklasifikasikan menjadi (i) metastasizing ameloblastoma, (ii) primary ameloblastic carcinoma, (iii) secondary intraosseous ameloblastic carcinoma, dan (iv) secondary peripheral ameloblastic carcinoma . Ameloblastoma ganas awalnya adalah ameloblastoma jinak yang bermetastase ke tempat yang jauh, biasanya ke paru (Effiom, 2017).

Berdasarkan histopatologisnya ameloblastoma dapat dibedakan menjadi tipe follicular, plexiform, acanthomatous, granular cell, basal cell, desmoplastic, unicystic, peripheral, dan varian lain yang lebih jarang seperti clear cell variant, papilliferous keratoameloblastoma.

E. Gambaran Klinis

Dalam Cahyawati (2018), secara klinis ameloblastoma biasanya asimtomatik dan tidak menyebabkan perubahan fungsi nervus sensorik. Tumor ini berkembang dengan lambat, hingga menimbulkan pembengkakan. Ameloblastoma dapat tumbuh ke segala arah, menginvasi jaringan lunak, dan menghancurkan tulang baik dengan tekanan langsung maupun dengan memicu resorpsi tulang oleh osteoklas. Sebagian besar pasien secara khas datang dengan keluhan utama bengkak dan asimetris pada wajah. Terkadang tumor yang kecil dapat teridentifikasi pada foto radiografi rutin. Seiring dengan pembesaran tumor, tumor membentuk pembengkakan yang keras dan kemudian dapat menyebabkan penipisan korteks yang menghasilkan egg shell crackling.

Pertumbuhan yang lambat juga memungkinkan formasi tulang reaktif yang mengarah pada pembesaran masif dan distorsi rahang. Apabila tumor ini diabaikan, maka dapat menimbulkan perforasi tulang dan menyebar ke jaringan lunak yang menyulitkan tindakan eksisi. Nyeri adakalanya dilaporkan dan terkait dengan infeksi sekunder.

Efek yang lain meliputi pergerakan dan pergeseran gigi, resorpsi akar gigi, paraestesia bila canalis alveolar inferior terkena, kegagalan erupsi gigi, dan sangat jarang ameloblastoma dapat mengulserasi mukosa.