Picture of Admin  Bedah Solo
PROPOSAL PENELITIAN PERBEDAAN PENGARUH PEMBERIAN TAMSULOSIN HARIAN DENGAN INTERMITTEN TERHADAP VOLUME SISA URINE SETELAH MIKSI DENGAN MENGGUNAKAN KATETER NELATON PADA PASIEN BPH DENGAN LUTS
by Admin Bedah Solo - Sunday, 8 December 2019, 05:42 PM
 
A. Latar Belakang
Benign prostatic hyperplasia(BPH) adalah kondisi yang umum terjadi pada pria dewasa lanjut, ditemukan pada hampir 70% pria dengan usia diatas 60 tahun (Lin, et al 2012). BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologi yaitu terjadinya peningkatan jumlah sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Perubahan struktur prostat pada BPH meliputi perubahan volume dan histologi.Perubahan volume prostat terjadi bervariasi pada setiap umur. Beberapa penelitian tentang volume prostat berdasarkan usia menyebutkan bahwa volume prostat meningkat menjadi 25 ml pada pria usia 30 tahun dan 35 – 45 ml pada pria usia 70 tahun (Roehrborn, 2002; Lee, et al, 2011; Chung et al, 2011).
Gejala pada pasien BPH berupaLower Urinary Tract Symptoms (LUTS)diklasifikasikan menjadi storage symptom, voiding symptom dan post micturiton symptoms.(Kang, et al, 2011)
American Urological Association (AUA) BPH Guidelines Committee merekomendasikan evaluasi awal terhadap pria dewasa dengan LUTS. Evaluasi awalmeliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya(Kirby, 2007).
Anamnesis dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab gangguan miksi ataupun komorbiditas yang dapat mempengaruhi terapi. Anamnesis symptoms LUTS menggunakan TheInternational Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah divalidasi (Kirby, 2007).IPSS ini bersifat subyektif yang terdiri dari 7 pertanyaaan dengan score 0-35. Disamping itu ada satu tambahan pertanyaan mengenai kualitas hidup pasien yang memiliki skor 0-6. Berdasarkan skor IPSS dikategorikan LUTS ringan bila skor 0 -7, LUTS sedang bila score 8-19, dan LUTS berat bila score 20-35. IPSS ini telah dipakai sebagai standar internasional (McConnell, 2005).
Pemeriksaan penunjang tambahan meliputi uroflowmetry, post void residual urin, dan pressure-flow urodynamic studies. Pemeriksaan tersebut merupakan test yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien BPH LUTS. Post void residual urin merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara ultrasonografi transabdominal atau dengan menggunakan kateter (Rosette, 2008; Jones, 2001). Residu urine (Postvoid Residual Urine / PVR ) adalah volume urine yang masih tersisa di dalam buli-buli segera setelah miksi. Keuntungan pengukuran PVR dengan menggunakan nelaton cateter yaitu lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan melakukan alat USG. Pengukuran menggunakan nelaton catheter memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan USG, dan dapat mengeluarkan residual urine secara langsung sedangkan dengan pemeriksaan USG memerlukan usaha dari pasien tersebut. Pengukuran USG membutuhkan keterampilan dan keahlian seorang operator dibandingkan penggunaan nelaton catether. Selain itu residul urine intra buli dapat dikeluarkan melalui pemasangan nelaton catheter dimana reisdu urine tersebut dapat menyebabkan kompikasi berupa infeksi. (Kirby, 2007).
Pilihan penatalaksanaan BPH berdasarkan pada beratnya keluhan atau symptom yang dialami oleh pasien. Berbagai macam penatalaksanaan BPH tersebut meliputi watchful waiting, perubahan pola hidup, medikamentosa, dan operasi.Penatalaksanaan medikamentosa terhadap BPH meliputi terapi dengan alpha blockers, 5 alpha reduktase inhibitor, atau kombinasi alpha blockers dengan 5 alpha reduktase inhibitor. Terapi alpha blockersdalam terapi BPH berfungsi untuk merelaksasi otot polos bladder neck, sehingga proses miksi menjadi lebih lancar(Langworth, 2009 ; Lin, 2012).
Alpha 1-adrenergic blockers (αb) masih merupakan terapi lini pertama pada BPH LUTS. Pemakaian obat alpha blockers yang diminum per oral setiap hari dapat memperbaiki symptoms IPSS 4 hingga 6 point dalam waktu 2 hingga 3 minggu (Rhodes, 2009). Alpha blockers lebih efektif dari pada 5 alpha reductase inhibitor dalam meringankan symptoms LUTS. Sedangkan pemakaian kombinasi dari kedua obat tersebut lebih baik hasilnya dalam meringankan symptoms dibandingkan pemakaian obat tunggal (Mimata et al, 2009).
Tamsulosin dapat memperbaiki symptoms BPH dan meningkatkan pancaran miksi (urinary flow rate) dalam waktu 1 minggu hingga 2 minggu. Peningkatan maximum flow rate (Q max) dapat mencapai ≥ 3 mL/dtk, sedangkan average flow rate meningkat hingga 1.6 mL/dtk. Perbaikan symptoms BPH secara signifikan terjadi 4 minggu setelah terapi (Roerig, 2009).




Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian alpha blockers secara harian, namun sebagian pasien menghentikan terapi setelah symptomsnya berkurang dan merasa kondisinya baik.Hasil penelitian TeruhikoYokoyama (2007) menyatakan bahwa pasien BPH dengan volume prostat relatif kecil dan terdapat perbaikan flow rates setelah terapi harian, selanjutnya dapat diberikan terapi alpha blockers intermiten (Yokohama et al, 2009). Terapi alpha blockers intermiten merupakan strategi yang tepat untuk pasien LUTS yang diakibatkan oleh BPH. Charnow melaporkan hasil penelitian Muhammad A dan Bulbul dari departemen bedah American University of Beirut di Lebanon mengenai terapi alpha blockers intermiten pada 84pasien BPH LUTS. Setelah terapi 2 minggu didapatkan perbaikan symptoms LUTS, kemudian pasien diminta minum obat secara intermiten sesuai dengan keluhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien BPH LUTS yang mendapatkan terapi alpha blockersselama 3 bulan, 34 pasien (40%) merasa tidak memerlukan terapi lanjutan lagi, sedangkan 50 pasien (60%) merasa masih memerlukan terapi lanjutan alpha blockers dengan interval waktu antara 1 hingga 24 hari setelah penghentian obat yang terakhir. Terapi alpha blockers intermiten tersebut telah direkomendasikan untuk terapi pada pasien BPH LUTS. Penelitian tersebut dapat berpengaruh terhadap penghematan biaya terapi medika mentosa pada pasien BPH LUTS terutama di negara negara berkembang (Charnow, 2009).
Sehubungan strategi penatalaksanaan BPH LUTS dengan terapi alpha blockers intermiten tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas antaraterapi alpha blockers intermiten dibandingkan dengan terapi alpha blockers harian pada pasien BPH LUTS. Alpha blocker yang digunakan pada penelitian ini adalah tamsulosin. Pemilihan tamsulosin pada peneitian ini dikarenakan bahwa tamsulosin sudah dikenal dapat memperbaiki simptom penyimpanan dan voiding dengan menghambat kontraksi otot detrussor dengan memblokade alpha 1A dan alpha 1D-adrenoseptor pada uretra dan bladder. Tamsulosin juga merupakan obat dengan rasio efikasi dan tolerability yang paling dapat diterima. Hal ini mungkin dikarenakan keuntungan pada memperbaiki gejala LUTS dengan efek samping minimal pada sistem cardiovaskuler. (Kang, 2011; Lin, 2012). Pada terapi intermiten, tamsulosin diberikan setiap dua hari sekali. Sedangkan pada terapi harian, tamsulosin diberikan setiap hari sekali.
Tamsulosin mempunyai efek samping dizzinessdan headaches serta gangguan ejakulasi. Gangguan ejakulasi dapat berupa ejakulasi retrograde, berkurangnya volume ejakulasi, ataupun tidak ejakulasi (absent ejaculate).Gangguan ejakulasi pada pasien yang mendapatkan terapi tamsulosin harian dapat diatasi dengan merubah terapi harian menjadi terapi intermiten. Hasil penelitian Metro menunjukkan bahwa 19 dari 30 pasien (63%) yang mengalami gangguan ejakulasi akan terjadi pemulihan setelah terapi harian diganti terapi intermiten dalam waktu 6 minggu.Perubahan terapi intermiten juga menunjukkan tidak adanya perbedaan efikasi yang signifikan dibandingkan terapi harian (Jung JH, 2017).







https://mega.nz/#!e8UHiayS!2GtuuAbJMcgoaGhrNUMxBxqz6KaBUY1DDdVF14m-ssw